Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta
Peneliti
Ameylia Puspita
Editor
Praja Firdaus Nuryananda
Untuk warga Provinsi DI Yogyakarta, kamu hanya akan memilih walikota atau bupati saja, tidak ada pemilihan gubernur.
Untuk warga Provinsi DI Yogyakarta, kamu hanya akan memilih walikota atau bupati saja, tidak ada pemilihan gubernur.
Calon Pasangan Kandidat
(3)
:
no.1
Heroe Poerwadi & Sri Widya Supena
Heroe Poerwadi & Sri Widya Supena
KOALISI PARTAI
+4
+4
Tidak didukung partai
Koalisi Nasdem Demokrat
Koalisi Nasdem Demokrat
no.2
H. Hasto Wardoyo & Wawan Harmawan
H. Hasto Wardoyo & Wawan Harmawan
KOALISI PARTAI
Koalisi PDIP
Koalisi PDIP
no.3
Afnan Hadikusumo & Singgih Raharjo
Afnan Hadikusumo & Singgih Raharjo
KOALISI PARTAI
+5
+5
Tidak didukung partai
Koalisi Petahana
Koalisi Petahana
Profil daerah
PERMASALAHAN DAERAH
BACA LAINNYA
🗺️ Profil Daerah
Tentang Daerah
Dikenal sebagai pusat budaya Jawa, Yogyakarta merupakan kota dengan warisan sejarah yang kaya seperti Keraton yang dulu menjadi pusat kerajaan mataram islam, serta pusat pendidikan dengan banyaknya perguruan tinggi terkemuka.
Jumlah Penduduk
± 440 Ribu
Luas
32,50 km²
ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)
± 300 Ribu
-0.37
UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)
Rp 2,49 Juta
Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)
Rp 46 Triliun
SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Rp 5,9 Triliun
Informasi dan Komunikasi
Rp 5,8 Triliun
Industri Pengolahan
Rp 5,6 Triliun
Data diambil dari laporan BPS: "PDRB Kota Yogyakarta Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah), 2022-2023"
Tentang Daerah
Dikenal sebagai pusat budaya Jawa, Yogyakarta merupakan kota dengan warisan sejarah yang kaya seperti Keraton yang dulu menjadi pusat kerajaan mataram islam, serta pusat pendidikan dengan banyaknya perguruan tinggi terkemuka.
Jumlah Penduduk
± 440 Ribu
Luas
32,50 km²
ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)
± 300 Ribu
-0.37
UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)
Rp 2,49 Juta
Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)
Rp 46 Triliun
SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Rp 5,9 Triliun
Informasi dan Komunikasi
Rp 5,8 Triliun
Industri Pengolahan
Rp 5,6 Triliun
Data diambil dari laporan BPS: "PDRB Kota Yogyakarta Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah), 2022-2023"
Tentang Daerah
Dikenal sebagai pusat budaya Jawa, Yogyakarta merupakan kota dengan warisan sejarah yang kaya seperti Keraton yang dulu menjadi pusat kerajaan mataram islam, serta pusat pendidikan dengan banyaknya perguruan tinggi terkemuka.
Jumlah Penduduk
± 440 Ribu
Luas
32,50 km²
ANGKA PENGANGGURAN (FEB 2024)
± 300 Ribu
-0.37
UPAH MINIMUM REGIONAL (UMR 2024)
Rp 2,49 Juta
Total Aktivitas ekonomi daerah (pdrb)
Rp 46 Triliun
SEKTOR PENDORONG EKONOMI (2023)
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
Rp 5,9 Triliun
Informasi dan Komunikasi
Rp 5,8 Triliun
Industri Pengolahan
Rp 5,6 Triliun
Data diambil dari laporan BPS: "PDRB Kota Yogyakarta Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah), 2022-2023"
Keuangan Daerah
Keuangan Daerah
Keuangan Daerah
⚠️ Isu Sorotan Daerah
Darurat Sampah
Iklim dan Lingkungan
Jogja Darurat Sampah: Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup di tengah romantisme Kota Yogyakarta
Krisis sampah yang melanda Yogyakarta akibat penutupan TPST Piyungan semakin mengkhawatirkan. Sejumlah kebijakan yang telah diambil sejauh ini terkesan hanya bersifat sementara dan kurang menyentuh akar permasalahan. Alih-alih mencari solusi jangka panjang yang komprehensif, banyak tindakan yang masih seremonial. Kondisi ini semakin diperparah dengan terbatasnya kapasitas tempat pembuangan sampah sementara dan kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai.
Kota Yogyakarta sebagai kawasan perkotaan yang kemudian minim memiliki lahan kosong juga mengalami tantangan dalam menciptakan fasilitas pengelolaan sampah berupa TPS3R atau TPS ramah lingkungan lainnya yang saat ini sedang digadang-gadang diciptakan oleh kabupaten lain yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tingginya jumlah rumah tangga mengakibatkan pola produksi dan timbulan sampah pun meningkat. Ketergantungan pengelolaan sampah pada pihak pemerintah dan ketidakmampuan pemerintah Kota Yogyakarta menyediakan fasilitas tempat pengelolaan sampah yang selama ini sudah ada seperti di TPST Piyungan membuat tumpukan sampah semakin menumpuk di berbagai titik kota. Bahkan dikatakan di setiap tikungan Kota Yogya diwarnai dengan pemandangan sampah.
Hal ini juga menimbulkan gelombang berbagai masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat seperti yang baru-baru ini terjadi yakni kasus permasalahan pencernaan yang massal ada di berbagai rumah sakit Kota Yogya. Diperlukan upaya yang lebih serius dan terintegrasi untuk mengatasi krisis sampah ini, mulai dari peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan regulasi, hingga pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.
Adanya program yang sifatnya meredam hanya akan membuat permasalahan sampah sulit untuk diselesaikan. Seperti program 100 juta tiap kelurahan untuk menyelesaikan masalah sampah organik di kelurahan, tanpa adanya program yang terarah serta monitoring jelas, program ini hanya akan menjadi tumpangan bagi segelintir elit untuk mencari keuntungan serta aksesibilitas masyarakat pada program yang kurang merata sehingga dapat menyebabkan kesenjangan dalam pengelolaan sampah.
Darurat Sampah
Iklim dan Lingkungan
Jogja Darurat Sampah: Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup di tengah romantisme Kota Yogyakarta
Krisis sampah yang melanda Yogyakarta akibat penutupan TPST Piyungan semakin mengkhawatirkan. Sejumlah kebijakan yang telah diambil sejauh ini terkesan hanya bersifat sementara dan kurang menyentuh akar permasalahan. Alih-alih mencari solusi jangka panjang yang komprehensif, banyak tindakan yang masih seremonial. Kondisi ini semakin diperparah dengan terbatasnya kapasitas tempat pembuangan sampah sementara dan kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai.
Kota Yogyakarta sebagai kawasan perkotaan yang kemudian minim memiliki lahan kosong juga mengalami tantangan dalam menciptakan fasilitas pengelolaan sampah berupa TPS3R atau TPS ramah lingkungan lainnya yang saat ini sedang digadang-gadang diciptakan oleh kabupaten lain yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tingginya jumlah rumah tangga mengakibatkan pola produksi dan timbulan sampah pun meningkat. Ketergantungan pengelolaan sampah pada pihak pemerintah dan ketidakmampuan pemerintah Kota Yogyakarta menyediakan fasilitas tempat pengelolaan sampah yang selama ini sudah ada seperti di TPST Piyungan membuat tumpukan sampah semakin menumpuk di berbagai titik kota. Bahkan dikatakan di setiap tikungan Kota Yogya diwarnai dengan pemandangan sampah.
Hal ini juga menimbulkan gelombang berbagai masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat seperti yang baru-baru ini terjadi yakni kasus permasalahan pencernaan yang massal ada di berbagai rumah sakit Kota Yogya. Diperlukan upaya yang lebih serius dan terintegrasi untuk mengatasi krisis sampah ini, mulai dari peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan regulasi, hingga pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.
Adanya program yang sifatnya meredam hanya akan membuat permasalahan sampah sulit untuk diselesaikan. Seperti program 100 juta tiap kelurahan untuk menyelesaikan masalah sampah organik di kelurahan, tanpa adanya program yang terarah serta monitoring jelas, program ini hanya akan menjadi tumpangan bagi segelintir elit untuk mencari keuntungan serta aksesibilitas masyarakat pada program yang kurang merata sehingga dapat menyebabkan kesenjangan dalam pengelolaan sampah.
Darurat Sampah
Iklim dan Lingkungan
Jogja Darurat Sampah: Buruknya Tata Kelola Lingkungan Hidup di tengah romantisme Kota Yogyakarta
Krisis sampah yang melanda Yogyakarta akibat penutupan TPST Piyungan semakin mengkhawatirkan. Sejumlah kebijakan yang telah diambil sejauh ini terkesan hanya bersifat sementara dan kurang menyentuh akar permasalahan. Alih-alih mencari solusi jangka panjang yang komprehensif, banyak tindakan yang masih seremonial. Kondisi ini semakin diperparah dengan terbatasnya kapasitas tempat pembuangan sampah sementara dan kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai.
Kota Yogyakarta sebagai kawasan perkotaan yang kemudian minim memiliki lahan kosong juga mengalami tantangan dalam menciptakan fasilitas pengelolaan sampah berupa TPS3R atau TPS ramah lingkungan lainnya yang saat ini sedang digadang-gadang diciptakan oleh kabupaten lain yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tingginya jumlah rumah tangga mengakibatkan pola produksi dan timbulan sampah pun meningkat. Ketergantungan pengelolaan sampah pada pihak pemerintah dan ketidakmampuan pemerintah Kota Yogyakarta menyediakan fasilitas tempat pengelolaan sampah yang selama ini sudah ada seperti di TPST Piyungan membuat tumpukan sampah semakin menumpuk di berbagai titik kota. Bahkan dikatakan di setiap tikungan Kota Yogya diwarnai dengan pemandangan sampah.
Hal ini juga menimbulkan gelombang berbagai masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat seperti yang baru-baru ini terjadi yakni kasus permasalahan pencernaan yang massal ada di berbagai rumah sakit Kota Yogya. Diperlukan upaya yang lebih serius dan terintegrasi untuk mengatasi krisis sampah ini, mulai dari peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan regulasi, hingga pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.
Adanya program yang sifatnya meredam hanya akan membuat permasalahan sampah sulit untuk diselesaikan. Seperti program 100 juta tiap kelurahan untuk menyelesaikan masalah sampah organik di kelurahan, tanpa adanya program yang terarah serta monitoring jelas, program ini hanya akan menjadi tumpangan bagi segelintir elit untuk mencari keuntungan serta aksesibilitas masyarakat pada program yang kurang merata sehingga dapat menyebabkan kesenjangan dalam pengelolaan sampah.
Penataan Malioboro
Ekonomi dan Kesejahteraan
Malioboro: Tersingkirnya Warga Lokal, Kericuhan Relokasi, dan Premanisasi Tukang Parkir
Malioboro, sebagai jantung budaya Yogyakarta, mengalami perubahan drastis. Bukan hanya dari segi ekonomi yang kemudian maju pesat karena meningkatnya Yogyakarta sebagai tujuan wisata pertama di Indonesia saat ini. Namun sisi budaya yang seharusnya lebih menginternalisasi dan melembaga juga ikut mengalami banyak perubahan. Adanya percampuran multikultur akibat banyaknya pendatang juga mewarnai revolusi pola pikir yang ada di Malioboro.
Saat ini malioboro diwarnai dengan kondisi perebutan kekuasaan dagang, premanisme, dan nutuk tarif parkir. Sangat disayangkan ketika Malioboro yang menjadi icon dan jantung budaya ini ternyata harus mengalami masalah sedemikian rupa. Bahkan di beberapa titik masyarakat lokal tergeser dalam mencari rejeki di sepanjang Malioboro karena harus berhadapan dengan preman-preman yang kemudian mencari rejeki sebagai tukang parkir dan penarik becak.
Pemerintah juga belum mampu menciptakan upaya revitalisasi penataan wilayah malioboro dan lagi-lagi malah memperburuk status kejelasan warga lokal dan pedagang kaki lima. Relokasi yang dilakukan pun terkesan serampangan, tanpa adanya perencanaan yang matang, dan kurang adil sehingga memicu gelombang konflik dan protes. Pada sisi yang lain, keberadaan tukang parkir liar semakin marak hingga merusak citra Malioboro sebagai destinasi wisata yang aman dan nyaman, penertiban parkir ini sulit dilakukan karena para tukang parkir telah berhasil membentuk paguyuban sendiri sehingga merasa memiliki kekuasaan untuk tidak mengizinkan aturan dari eksternal untuk dapat masuk mengatur bagaimana mereka bekerja.
Perpaduan antara warisan budaya dan realita sosial yang kompleks ini menghadirkan tantangan tersendiri bagi Yogyakarta. Meskipun Malioboro ada dalam tanggungjawab langsung dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, namun Kota Yogyakarta juga memiliki andil untuk dapat mengadvokasikan agar Malioboro dapat menjadi ruang hidup yang layak dan inklusif baik secara ekonomi, sosial, dan budaya.
Penataan Malioboro
Penataan Malioboro
Ekonomi dan Kesejahteraan
Malioboro: Tersingkirnya Warga Lokal, Kericuhan Relokasi, dan Premanisasi Tukang Parkir
Malioboro, sebagai jantung budaya Yogyakarta, mengalami perubahan drastis. Bukan hanya dari segi ekonomi yang kemudian maju pesat karena meningkatnya Yogyakarta sebagai tujuan wisata pertama di Indonesia saat ini. Namun sisi budaya yang seharusnya lebih menginternalisasi dan melembaga juga ikut mengalami banyak perubahan. Adanya percampuran multikultur akibat banyaknya pendatang juga mewarnai revolusi pola pikir yang ada di Malioboro.
Saat ini malioboro diwarnai dengan kondisi perebutan kekuasaan dagang, premanisme, dan nutuk tarif parkir. Sangat disayangkan ketika Malioboro yang menjadi icon dan jantung budaya ini ternyata harus mengalami masalah sedemikian rupa. Bahkan di beberapa titik masyarakat lokal tergeser dalam mencari rejeki di sepanjang Malioboro karena harus berhadapan dengan preman-preman yang kemudian mencari rejeki sebagai tukang parkir dan penarik becak.
Pemerintah juga belum mampu menciptakan upaya revitalisasi penataan wilayah malioboro dan lagi-lagi malah memperburuk status kejelasan warga lokal dan pedagang kaki lima. Relokasi yang dilakukan pun terkesan serampangan, tanpa adanya perencanaan yang matang, dan kurang adil sehingga memicu gelombang konflik dan protes. Pada sisi yang lain, keberadaan tukang parkir liar semakin marak hingga merusak citra Malioboro sebagai destinasi wisata yang aman dan nyaman, penertiban parkir ini sulit dilakukan karena para tukang parkir telah berhasil membentuk paguyuban sendiri sehingga merasa memiliki kekuasaan untuk tidak mengizinkan aturan dari eksternal untuk dapat masuk mengatur bagaimana mereka bekerja.
Perpaduan antara warisan budaya dan realita sosial yang kompleks ini menghadirkan tantangan tersendiri bagi Yogyakarta. Meskipun Malioboro ada dalam tanggungjawab langsung dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, namun Kota Yogyakarta juga memiliki andil untuk dapat mengadvokasikan agar Malioboro dapat menjadi ruang hidup yang layak dan inklusif baik secara ekonomi, sosial, dan budaya.
UMR Rendah
Ekonomi dan Kesejahteraan
Iming-Iming Slow Living: Filosofi Nerima Ing Pandum dan Hubungannya dengan UMR Rendah di Jogja
Yogyakarta, kota pelajar yang juga dikenal sebagai kota budaya, menyimpan paradoks yang menarik. Di satu sisi, kota ini menjadi tujuan bagi para wisatawan yang mencari ketenangan dan pengalaman budaya yang kaya. Di sisi lain, di balik keindahan dan keramahannya, Yogyakarta juga menghadapi tantangan serius terkait kesenjangan sosial dan ekonomi.
Yogyakarta, dengan pesonanya yang khas, telah menjadi magnet bagi para investor. Upah minimum yang relatif rendah dibandingkan daerah lain telah menarik banyak investor untuk mendirikan bisnis di Yogyakarta. Perusahaan-perusahaan besar tertarik dengan potensi pasar yang besar dan biaya operasional yang lebih rendah. Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat ini tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sebagian besar pekerja, terutama mereka yang bekerja di sektor informal, masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Upah yang minim membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Tingginya biaya hidup di Yogyakarta semakin memperparah kondisi tersebut. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, harga-harga kebutuhan pokok juga terus merangkak naik. Akses terhadap perumahan yang layak, pendidikan yang berkualitas, dan fasilitas kesehatan yang memadai menjadi semakin sulit bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Parahnya lagi, banyak lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Permintaan pasar yang terbatas dan persaingan yang ketat membuat angka pengangguran lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta cukup tinggi. Kondisi ini semakin diperparah oleh minimnya lapangan pekerjaan formal yang tersedia. Akibatnya, banyak lulusan yang terpaksa bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang tidak menentu.
Kondisi ini menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin lebar antara pemilik modal dan pekerja. Ketimpangan ekonomi yang parah ini juga berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari kualitas hidup hingga stabilitas sosial. Kesenjangan sosial yang semakin lebar dapat memicu berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, kriminalitas, dan konflik sosial.
UMR Rendah
UMR Rendah
Ekonomi dan Kesejahteraan
Iming-Iming Slow Living: Filosofi Nerima Ing Pandum dan Hubungannya dengan UMR Rendah di Jogja
Yogyakarta, kota pelajar yang juga dikenal sebagai kota budaya, menyimpan paradoks yang menarik. Di satu sisi, kota ini menjadi tujuan bagi para wisatawan yang mencari ketenangan dan pengalaman budaya yang kaya. Di sisi lain, di balik keindahan dan keramahannya, Yogyakarta juga menghadapi tantangan serius terkait kesenjangan sosial dan ekonomi.
Yogyakarta, dengan pesonanya yang khas, telah menjadi magnet bagi para investor. Upah minimum yang relatif rendah dibandingkan daerah lain telah menarik banyak investor untuk mendirikan bisnis di Yogyakarta. Perusahaan-perusahaan besar tertarik dengan potensi pasar yang besar dan biaya operasional yang lebih rendah. Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat ini tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sebagian besar pekerja, terutama mereka yang bekerja di sektor informal, masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Upah yang minim membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Tingginya biaya hidup di Yogyakarta semakin memperparah kondisi tersebut. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, harga-harga kebutuhan pokok juga terus merangkak naik. Akses terhadap perumahan yang layak, pendidikan yang berkualitas, dan fasilitas kesehatan yang memadai menjadi semakin sulit bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Parahnya lagi, banyak lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Permintaan pasar yang terbatas dan persaingan yang ketat membuat angka pengangguran lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta cukup tinggi. Kondisi ini semakin diperparah oleh minimnya lapangan pekerjaan formal yang tersedia. Akibatnya, banyak lulusan yang terpaksa bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang tidak menentu.
Kondisi ini menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin lebar antara pemilik modal dan pekerja. Ketimpangan ekonomi yang parah ini juga berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari kualitas hidup hingga stabilitas sosial. Kesenjangan sosial yang semakin lebar dapat memicu berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, kriminalitas, dan konflik sosial.
Pendidikan
Pendidikan dan Kesehatan
Isu Pendidikan: Persebaran sekolah, fenomena inden dan persaingan tidak sehat
Meskipun dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta masih menghadapi permasalahan serius dalam sektor pendidikan. Yogyakarta, yang kerap disebut sebagai kota pelajar, menyimpan paradoks dalam sistem pendidikannya. Di satu sisi, kota ini memiliki reputasi sebagai pusat pendidikan yang berkualitas. Namun, di sisi lain, terdapat ketimpangan yang signifikan dalam akses dan kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa.
Salah satu masalah utama adalah persebaran sekolah yang tidak merata. Sekolah-sekolah favorit dengan fasilitas lengkap cenderung terpusat di beberapa wilayah tertentu, terutama di pusat kota. Akibatnya, siswa yang tinggal di daerah pinggiran atau daerah yang kurang berkembang memiliki akses yang terbatas terhadap pendidikan berkualitas. Fenomena ini diperparah oleh kurangnya tenaga pengajar yang kompeten di daerah-daerah tersebut.
Persaingan tidak sehat antar siswa untuk masuk sekolah favorit juga menjadi permasalahan yang serius. Fenomena "inden" sekolah, di mana calon siswa mendaftar jauh sebelum tahun ajaran baru, telah menjadi hal yang lumrah. Persaingan yang ketat ini memicu stres pada siswa dan orang tua, serta mendorong sekolah-sekolah untuk berlomba-lomba menawarkan berbagai fasilitas tambahan demi menarik minat siswa baru. Fokus pada prestasi akademik yang semata-mata seringkali mengabaikan aspek penting lainnya dalam pendidikan, seperti pengembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan sosial.
Biaya pendidikan yang semakin mahal juga menjadi beban bagi banyak keluarga. Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, orang tua seringkali harus mengeluarkan biaya tambahan di luar biaya sekolah, seperti biaya les privat, buku-buku pelajaran, dan seragam sekolah. Hal ini menyebabkan ketimpangan akses pendidikan berdasarkan status sosial ekonomi. Dampak dari ketimpangan pendidikan ini sangat luas. Selain berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan, ketimpangan pendidikan juga dapat memperlebar kesenjangan sosial. Siswa yang memiliki akses terbatas pada pendidikan berkualitas akan memiliki peluang yang lebih kecil untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan meningkatkan taraf hidupnya.
Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan dan Kesehatan
Isu Pendidikan: Persebaran sekolah, fenomena inden dan persaingan tidak sehat
Meskipun dikenal sebagai kota pelajar, Yogyakarta masih menghadapi permasalahan serius dalam sektor pendidikan. Yogyakarta, yang kerap disebut sebagai kota pelajar, menyimpan paradoks dalam sistem pendidikannya. Di satu sisi, kota ini memiliki reputasi sebagai pusat pendidikan yang berkualitas. Namun, di sisi lain, terdapat ketimpangan yang signifikan dalam akses dan kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa.
Salah satu masalah utama adalah persebaran sekolah yang tidak merata. Sekolah-sekolah favorit dengan fasilitas lengkap cenderung terpusat di beberapa wilayah tertentu, terutama di pusat kota. Akibatnya, siswa yang tinggal di daerah pinggiran atau daerah yang kurang berkembang memiliki akses yang terbatas terhadap pendidikan berkualitas. Fenomena ini diperparah oleh kurangnya tenaga pengajar yang kompeten di daerah-daerah tersebut.
Persaingan tidak sehat antar siswa untuk masuk sekolah favorit juga menjadi permasalahan yang serius. Fenomena "inden" sekolah, di mana calon siswa mendaftar jauh sebelum tahun ajaran baru, telah menjadi hal yang lumrah. Persaingan yang ketat ini memicu stres pada siswa dan orang tua, serta mendorong sekolah-sekolah untuk berlomba-lomba menawarkan berbagai fasilitas tambahan demi menarik minat siswa baru. Fokus pada prestasi akademik yang semata-mata seringkali mengabaikan aspek penting lainnya dalam pendidikan, seperti pengembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan sosial.
Biaya pendidikan yang semakin mahal juga menjadi beban bagi banyak keluarga. Untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, orang tua seringkali harus mengeluarkan biaya tambahan di luar biaya sekolah, seperti biaya les privat, buku-buku pelajaran, dan seragam sekolah. Hal ini menyebabkan ketimpangan akses pendidikan berdasarkan status sosial ekonomi. Dampak dari ketimpangan pendidikan ini sangat luas. Selain berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan, ketimpangan pendidikan juga dapat memperlebar kesenjangan sosial. Siswa yang memiliki akses terbatas pada pendidikan berkualitas akan memiliki peluang yang lebih kecil untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan meningkatkan taraf hidupnya.
Quiz
Mini Survey
Mini Survey
Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉
Menurut saya,
Menurut saya,
Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉
Isunya kurang lengkap? Share isu kamu, nanti kita tambahin 👉
Baca berita seputar pilkada daerah
Menemukan konten yang kurang sesuai?
Jika kamu menemukan konten kami yang dirasa kurang sesuai, baik dari segi sumber informasi atau data, masukkan feedbackmu melalui feedback form atau kontak kami melalui contact@bijakdemokrasi.id, agar kami dapat mereview ulang.